Kamis, 26 Maret 2015

#Dhira

“Terimakasih telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk sebuah mukjizat bernama Dhira...”

Ucapan tersebut sepertinya ungkapan paling tepat yang bisa kami sampaikan untuk Bidan Kita, Yesie Aprilia. J

Gertrude Dhira Abinaya Hananta. Gadis kecil yang menghiasi hari-hari kami hampir 2 tahun terakhir ini tumbuh sehat dan cerdas. Dia lahir dengan cara yang amat istimewa oleh bantuan seorang yang istimewa di tempat yang istimewa. Yap, Dhira memang sangat istimewa, terutama bagi kami. Orang tua yang awalnya sepakat untuk tidak memprioritaskan kehadiran anak dalam kehidupan pernikahan kami.

Tidak seperti pasangan muda lainnya yang antusias merencanakan kehamilan setelah acara pernikahan selesai, kami memilih untuk menunda kehamilan. Ketakutan yang amat sangat terhadap jarum suntik, darah, dan peralatan medis lainnya membuat saya berpikir seribu kali untuk berani mengalami secara langsung proses persalinan. Banyaknya cerita mengerikan tentang proses persalinan dari orang-orang di sekitar sepertinya makin menguburkan niat saya untuk memiliki seorang anak. Berlebihan memang, tapi begitu adanya keadaan saya saat itu. Ditambah lagi, tugas belajar dari kantor menuntut saya memprioritaskan kuliah yang sedang saya jalani saat itu. Alasan tepat untuk melindungi semua trauma saya. Makin membulatkan tekad kami untuk menunda kehamilan.

Namun akhirnya, datanglah masa dimana semua orang mulai menanyakan “jadi, udah hamil belum?”. Sebuah pertanyaan sederhana namun ternyata cukup meluluhkan kekerasan hati saya.

Tuhan bekerja. Dari awalnya hanya menjawab dengan senyuman, sampai akhirnya berani bertanya bagaimana rasanya hamil & melahirkan. Dan diantara banyak jawaban mengerikan, muncul satu jawaban dari seorang teman tentang harapan melahirkan tanpa rasa sakit. Hypnobirthing. Inilah perkenalan pertama saya dengan makhluk bernama hypnobirthing. Dari sejak mendengar namanya disebut, hypnobirthing telah menunjukkan gravitasi yang hebat bagi saya. Sembunyi-sembunyi, saya mencari tahu apa itu hypnobirthing. Di antara tumpukan tugas kuliah, seringkali saya malah asyik berselancar mengenal hypnobirthing. Jauh hari sebelum saya berencana hamil, saya mulai memberdayakan diri. Tanpa saya sadari.

Mengenal sekilas hypnobirthing lewat dunia maya belum mampu meluruhkan seluruh ketakutan saya. Hingga akhirnya saya menemukan sebuah buku hypnobirthing karya Evariny Adriana di tumpukan buku diskon. Tanpa pikir panjang saya memutuskan untuk membelinya. Tak ada yang kebetulan. Saya percaya semua sudah diatur Tuhan. Dengan buku ini, saya jadi mengenal lebih dalam. Hingga akhirnya berani merencanakan kehamilan.

Genap 9 bulan setelah menikah, akhirnya Tuhan berkenan menitipkan janin dalam rahim saya. Dan petualangan sesungguhnya barulah dimulai. Tujuan pencarian saya akan gentle birth semakin jelas sekarang. Buku Gentle Birth karya Yesie Aprilia, Hypnobirthing karya Lanny Kuswandi, dan laman bidankita.com jadi pendamping perjalanan saya selanjutnya.

Pelajaran yang telah saya dalami dari sebelum hamil sangat memudahkan trimester pertama kehamilan. Drama morning sickness tidak banyak saya rasakan. Hanya tiga kali muntah pernah menyerang. Dari 38 minggu 4 hari kehamilan saya. Selebihnya, saya happy menjalani hari-hari saya. Berat badan yang sangat kurang di awal kehamilan pun bisa saya atasi dengan mudah.

Namun, tidak dengan suami. Dia mengalami couvade syndrome.Trimester pertama, dia muntah setiap sore menjelang pulang kerja. Dan saya percaya, itu semua karna cintanya yang begitu besar pada saya.

Pemberdayaan diri terus saya lakukan. Kali ini, saya tidak belajar sendiri. Selain suami, mama juga ikut semangat belajar. Awalnya, mama tidak mengizinkan saat saya mengungkapkan keinginan saya melahirkan dengan metode water birth. Namun akhirnya, dengan banyaknya materi gentle birth yang mama pelajari dan melihat kegigihan saya mengupayakan semuanya, mama tulus mengizinkan dan mendoakan. Yah, walaupun setelahnya mama terus mengafirmasi diri untuk tidak mendampingi saya saat persalinan tapi yang penting izin sudah dikeluarkan. :D

Trimester pertama dan kedua berjalan tanpa cela. Selain dukungan dari orang-orang tercinta dan dokter pilihan, relaksasi setiap malam juga punya andil besar. Kehamilan dan kuliah berjalan beriringan. Keduanya bisa sempurna.

Trimester ketiga, Tuhan punya rencana. Tuhan ingin saya lebih mendalami arti seorang ibu. Tuhan ingin melihat bagaimana kegigihan saya memperjuangkan semuanya. Menjelang masuk trimester ketiga, saya diserang batuk hebat. Agak sedikit menyiksa dengan kondisi perut yang mulai membesar. Segala macam cara sudah saya lakukan, asupan makanan tetap terus dijaga tapi batuk tak juga reda. Hingga akhirnya pada satu sesi relaksasi malam, saya merenung lebih dalam. Mungkinkah ini pertanda bahwa perhatian saya pada sang bayi mulai berkurang? Pikiran saya mulai dipenuhi bayangan tugas akhir kuliah saya. Dan saya sadar, sepertinya memang ada yang salah. Dari renungan malam itu, saya terpanggil untuk segera menemui penolong saya, mbak Yesie.

Sebenarnya, memasuki trimester kedua, saya dan suami telah berencana untuk pulang ke Klaten dan menemui mbak Yesie untuk persiapan rencana persalinan di Bidan Kita. Namun nyatanya, kemudahan yang saya dapat selama hamil telah melenakan saya. Relaksasi dan yoga yang tetap rutin saya lakukan terasa kosong tak bermakna karna fokus saya mulai berubah. Tugas akhir kuliah mulai menguasai hari-hari saya dan mengganggu keseimbangan yang ada.

Tepat usia kehamilan 28 minggu, saya dan suami bertemu mbak Yesie untuk pertama kali. Kami mengikuti kelas privat hypnobirthing di klinik dan sesi yoga di kebon kamboja (!). Tiga hari di sana kami menemukan apa yang kami cari. Kami menemukan sosok pembimbing. Lebih dari apa yang dituliskan di buku, lebih dari apa yang didengar di cd relaksasi. Satu sesi yang paling mengena, saat saya mencurahkan semua kegelisahan dan kekhawatiran tentang tugas akhir kuliah dan HPL yang sepertinya akan sulit dilewati dengan sempurna. Mbak Yesie mengingatkan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” (Mat 6:34). Dan saya menangis. Saya lupa ada Tuhan Sang Maha. Saat kita percaya dan berserah padaNYA, tidak ada yang tidak mungkin. Detik itu saya diingatkan bahwa kehamilan adalah proses spiritual.

Pulang dari Klaten, kami jadi manusia baru. Kami datang ke klinik dengan hasil tes tingkat stress tinggi dan pulang dengan penuh kelegaan. Tapi, saya percaya, untuk naik kelas, setiap pelajaran harus digenapkan dengan ujian. Usia 30 minggu, bayi saya masih nyaman dalam posisi sungsangnya. Dokter menyarankan posisi knee chest dilakukan setiap pagi dan malam. Tak hanya itu, berbekal panduan yang dishare bidankita.com, saya melakukan banyak hal lainnya. Relaksasi dan berkomunikasi dengan janin, memutar musik dengan meletakkan headphone di bagian bawah perut, menyinari perut dengan senter, memijat ringan perut sesuai arahan, serta minum jus jeruk. Saya santai menghadapinya, karna percaya semua usaha saya akan ada hasilnya.

Namun, ketenangan saya mulai goyah setelah 2 minggu usaha saya tidak membuahkan hasil. Usia 32 minggu saya pulang ke Klaten. Acara mitoni sekaligus konsultasi dengan mbak Yesie. Saya yakin mbak Yesie pasti bisa membantu menyempurnakan posisi bayi saya. Pagi itu, saya datang dengan penuh semangat dan disambut senyuman manis sang bayi di layar USG. Keyakinan makin kuat. Mbak Yesie memulai ‘ritual’-nya dengan mengajak komunikasi sang bayi. Sementara mbak Yesie melakukan usaha mengajak bayi memutar posisinya, mbak Anggun (salah satu bidan di BK) dan suami melakukan accupressure dengan moxa. Menunggu beberapa lama, sang bayi tetap pada posisinya, sungsang. Mbak Yesie memutuskan untuk berhenti.

Takut. Panik. Rasa yang ada saat itu. Tak percaya, orang yang saya harapkan, menyerah. Siang itu, saya menangis seharian di kereta menuju Jakarta. Bayangan SC mulai menghantui. Saya pun nyaris menyerah. Namun, mbak Yesie memberi harapan baru. Dia meminta saya menemui Suhu Haryanto. Seorang pranic healer yang mengobati dengan metode NTS/Neuro Tendon Stimulation. Mbak Yesie curiga ada yang salah dengan saya, otot-otot perut saya sangat kaku waktu itu. Karena Suhu Har praktik di pro-V clinic, maka saya juga diminta untuk sekalian menemui bu Lanny Kuswandi (!). Yap, bayi ini membawa saya bertemu orang-orang hebat.

Mencocokkan jadwal 2 orang penting ini untuk bisa ditemui pada hari yang sama bukanlah hal yang mudah. Tuhan memberi kemudahan. Usia 33 minggu saya sudah bisa bertemu suhu Har dan bu Lanny. Hari itu, saya bertemu suhu Har terlebih dahulu, baru bu Lanny setelahnya. Pengobatan dengan suhu Har diawali dengan deteksi sistem syaraf ala master kungfu. Dan saya dibuat kaget dengan hasil deteksi tersebut. Menurut suhu Har, cukup berat, ada 2 titik syaraf saya yang salah, 1 di bagian atas yang menyebabkan batuk tak tertahan waktu itu dan 1 di bagian bawah yang membuat otot bawah saya kaku sehingga menyulitkan bayi untuk berputar. Lebih dari itu, ternyata dari syaraf yang salah itu, saya dinyatakan pernah terkena serangan jantung yang tidak pernah saya sadari. Dan jika kesalahan ini tidak segera dibenahi, akan berdampak buruk saat melahirkan nanti. Ngeri.

Dengan bu Lanny, saya dijadwalkan dalam kelas privat hypnobirthing. Namun, karena materi hypnobirthing sudah banyak saya dapatkan dari mbak Yesie, akhirnya kami mengisinya dengan sesi curhat. Bu Lanny memberi motivasi dengan menceritakan kisah salah satu pasiennya yang berhasil melahirkan sungsang, home birth. Bu Lanny juga mengajarkan cara dan pentingnya berkomunikasi dengan sang bayi. Tidak hanya mengajaknya bicara, tapi juga mendengar apa yang disampaikan sang bayi. Bu Lanny yakin ada pesan yang ingin disampaikan sang bayi dengan posisi sungsangnya saat ini. Dan tugas sayalah mencari tahu makna pesannya, bukan mbak Yesie atau bu Lanny. Bu Lanny juga berpesan memperdalam afirmasi positif dengan doa, dan kami memilih doa novena (kebetulan kami sama-sama beragama Katolik). Sesi ‘curhat’ hari itu diakhiri dengan relaksasi. Menenangkan sekali.

Dua minggu menjalani terapi NTS dan menjalankan pesan bu Lanny, saya merasakan perubahan nyata. Saya merasa jauh lebih sehat, lebih tenang, lebih ikhlas. Saya juga mulai menangkap pesan sang bayi. Ia ingin ibunya dalam keadaan sehat dan belajar ikhlas. Bayi ini telah menyelamatkan jiwa dan raga saya (!).

Ikhlas. Satu kata yang sebelumnya sedikit terlupa. Semua upaya pemberdayaan diri dan keinginan melahirkan normal membuat saya lupa untuk ikhlas. Merasa telah melakukan semua usaha dan dibimbing langsung oleh orang terbaik seakan sudah membutakan hati saya. Tidak ada sectio caesarea dalam pilihan saya. Dan sekali lagi bayi ini mengingatkan, keinginan bayi lah yang harus didengar. Pesan itu saya tangkap saat saya dan suami ada dalam bioskop. Saya tersadar. Apa gunanya memaksa lahir normal pada sang bayi? Jika sekarang saya sudah memaksakan kehendak pada anak yang masih di perut untuk memutar posisi nyamannya, apa jadinya nanti kalau ia sudah tumbuh? Kenapa saya tidak pernah terpikir kalau sebenarnya sungsang lah posisi ternyaman yang dipilih bayi saya? Kenapa saya malah terus memaksanya? Saya menangis. Bukan karna film yang kami tonton, tapi karena saya mendengar pesan sang bayi. Pikiran itu terus mengusik saya selama hampir 2 jam di dalam. Malam itu, saya meninggalkan ruang theater dengan mengucap, “Nak, ibu sudah ikhlas, ibu percaya kamu lebih tahu apa yang terbaik untukmu.”  :’)

Hari-hari setelahnya terasa lebih mudah. Saya dan suami melakukan semua upaya dengan lebih ikhlas. Tanpa beban. Tidak lagi dua orang yang bekerja dalam karya ini sekarang, ada sang bayi yang turut serta. Bertiga kami akan melewati semuanya, dengan kehendak sang bayi yang paling utama.

Hingga keajaiban itu tiba-tiba ada. Dua hari setelah saya mengikhlaskan semuanya. Minggu pagi saat kami mengikuti misa di gereja. Tuhan menunjukkan kuasaNYA. Saat mendoakan Bapa Kami, saya mengajak serta sang bayi dalam doa dengan membelai perut. Dan saya merasakan gerakannya. Ajaib. Perlahan tapi pasti, kepala sang bayi bergeser ke bawah. Klek. Doa selesai dan kepalanya tepat berhenti di tempat seharusnya. Benar, saya sungguh benar-benar merasakannya. Mukjizat itu nyata. Saat saya sudah ikhlas, tanpa perlu memaksa, dia tahu yang seharusnya. Usianya 34 minggu saat itu. Dengan ukurannya yang besar di tubuh ibunya yang mungil, dia menunjukkan bahwa segala sesuatu bisa terjadi jika memang itu kehendaknya dan Sang Kuasa.

Masih merasa tak percaya, saya dan suami menemui dokter untuk memastikan posisinya. Dan benar, sang bayi sudah berada di posisi sempurna sekarang. Penuh haru, kami meninggalkan ruang dokter dengan air mata. Bahagia. Terimakasih, Nak (!). :’)
Tidak seperti ibu bekerja lainnya yang bisa mulai cuti di usia 36 minggu, saya masih harus berjuang untuk ujian akhir kuliah saya di usia 37-38 minggu. Puji Tuhan, bayi ini sangat bisa diajak bekerjasama meskipun tiap hari harus naik motor ke kampus dan naik turun tangga menuju ruang ujian. Kami sudah sepakat, saya harus menyelesaikan ujian ini sebelum akhirnya bertemu. Usia 38 minggu saya berhasil menyelesaikan ujian. Malamnya, kami menuju Klaten untuk mempersiapkan semuanya. Saya sudah mulai tidak nyaman duduk berjam-jam di kereta malam itu. Tapi, bayangan bertemu mbak Yesie untuk sekedar tertawa bersama sang bayi mampu mengalahkan semuanya.

Kamis pagi, kami tiba di Klaten. Dan setelah beristirahat sejenak, kami menuju klinik Bidan Kita. Bertemu mbak Yesie untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Belum ada tanda-tanda, saya hanya diminta mengurangi karbohidrat dan menggantinya dengan buah. Yap, bayi saya besar untuk ukuran tubuh ibu semungil saya. Mbak Yesie juga menyarankan minum jus nanas dan mulai melakukan induksi alami hingga sang bayi memberi tanda.

Malamnya, rasa tak nyaman kembali menyerang. Saya belum tahu pasti bagaimana rasanya kontraksi (sebenernya sampai sekarang pun saya juga masih belum tahu pasti). Tapi saya menduga mungkin rasa tak nyaman itulah yang disebut kontraksi. Tidak merasa terganggu, saya tetap asyik temu kangen dengan keluarga. Bercanda sambil menonton tv. Paginya, rasa itu sudah lenyap entah kemana. Hari Jumat terlewat dengan bahagia. Sabtu malam, saya dan suami menghadiri acara midodareni salah satu sahabat saya di satu sudut pelosok Klaten. Acara pernikahan ini merupakan satu momen yang saya tunggu-tunggu. Saya dan sahabat-sahabat merencanakan pertemuan ‘besar’ di acara ini. Saya punya keinginan kuat bisa berfoto bersama sahabat-sahabat dengan perut besar ini. Karna itu, track berat yang harus kami lalui untuk menuju ke sana bukanlah suatu halangan. Keinginan itu ternyata benar-benar didukung bayi hebat saya. Kami pulang jam 10 malam itu. Sesampainya di rumah, saya menemukan goresan coklat di celana dalam saya. Apakah ini tanda? Semoga.

Saya tidur pulas malam itu dalam pelukan suami. Tenang. Bahagia karena hari ini sahabat saya menikah. Kami harus bersiap pagi-pagi. Begitu bahagianya hingga tak ada sedikit pun rasa khawatir saat saya menemukan lebih banyak bercak coklat di celana. Hari ini saya harus ada di pernikahan sahabat saya. Selesai mandi, kami menuju salon yang sudah saya pesan untuk make up berkebaya. Untuk menghadiri pesta sahabat saya tentunya, bukan melahirkan. J

Kebetulan, salon yang saya pesan ada di seberang klinik Bidan Kita. Mobil kami parkir di dekat klinik. Mbak Yesie sedang menyiapkan bunga-bunga untuk kliniknya. Kami sempat saling melambaikan tangan. Dan saya tidak pernah menduga hari itu saya akan kembali bertemu dengannya untuk melahirkan.

Selama make up, saya sempat merasakan dua kali getaran tiap setengah jam (saya tidak tahu harus menyebutnya apa, karna sampai sekarang saya pun tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya). Mungkin kontraksi. Tapi saya tetap yakin dan percaya semua akan baik-baik saja. Sampai di gereja, saat pemberkatan pernikahan, getaran makin terasa. Tiap 15 menit pertama. Tiap 5 menit kemudian. Saya masih biasa. Bercanda dengan sahabat-sahabat tercinta. Penuh tawa. Bahagia.

Acara berpindah ke salah satu garden resto di Kalasan. Getaran itu makin hebat kurasakan. Saat itu saya harus mencari tempat duduk jika getaran datang. Tidak bisa lagi menikmatinya sambil berdiri. Selebihnya, semua tetap berjalan biasa. Tetap penuh tawa dan canda. Hingga akhirnya saya hanya bisa duduk terdiam menikmati getaran hebat. Sahabat-sahabat menyarankan pulang untuk istirahat. Mungkin saya kelelahan, pikirnya. Kami semua tidak pernah tahu jika saat itu adalah detik-detik terakhir saya berperut besar. J

Sepulang dari acara, tiba-tiba saya terpikir untuk langsung ke klinik Bidan Kita dan bertemu mbak Yesie. Saya hanya ingin memastikan semua baik-baik saja. Di jalan, saya sudah sempat sms mbak Yesie menanyakan kondisi saya dan memberi kabar saya akan datang. Dengan kebaya, sanggul, heels, clutch, dan bulu mata saya datang ke klinik Bidan Kita. Dari awal, saya memang tidak pernah membayangkan datang ke klinik bersalin dengan tergopoh-gopoh membawa setas penuh perlengkapan ibu bersalin. Tidak pernah. Dan ternyata itu menjadi nyata, bagaimana hebatnya pikiran alam bawah sadar mengendalikan semua. Kedatangan saya yang ‘cantik’ sempat membuat kaget bidan-bidan di klinik. Belum pernah ada ibu hamil datang untuk bersalin dengan dandanan seheboh itu. J
Sampai di sana, saya berganti pakaian (milik mbak Yesie). Mbak Yesie mulai melakukan pemeriksaan dalam. VT pertama dalam hidup saya. “Sudah buka 4 longgar”, katanya. Saya dan suami sontak kaget dibuatnya. Hebohnya rasa kontraksi saja kami belum benar-benar tahu. Tanpa persiapan fisik apapun, kami menunggu kelahiran sang bayi  di klinik dengan hati yang mantap. Ketenangan dan kenyamanan yang saya temukan di sana mempermudah segalanya. Bayangan persalinan mengerikan yang dulu membuat saya berpikir untuk tidak memiliki anak tidak pernah ada ternyata. Saya memilih tempat yang tepat. Bukan saya, bayi saya tepatnya. Dia yang membimbing saya hingga bisa ada di tempat ini. Proses persalinan yang begitu hebat saya rasakan di sini. Proses pemberdayaan diri yang sudah saya upayakan hingga sejauh ini makin sempurna dengan bantuan tangan yang penuh kasih.
11 November 2012 pukul 19.20. Bayi cantik berhasil lahir dengan perjuangannya yang hebat. Dia sempat mengalami lilitan kuat, distosia bahu dan sempat tidak bernafas. Perjuangan kesekian kali yang harus dilaluinya untuk bisa bertemu ibu. Terimakasih Nak, sudah mau berjuang begitu besar hanya untuk ibu. Terimakasih telah memilih kami sebagai orang tuamu. :’)
Persalinan ini begitu berkesan bagi kami. Kesan yang dalam terutama setelah membaca kisah yang dituliskan mbak Yesie :



Malam hari setelah kelahirannya, saya dan suami tidak sekalipun memejamkan mata. Memandangi sang bayi penuh haru. Mengenang kembali perjalanan hebat yang telah kami bertiga lalui. Mengingat kembali semua pelajaran yang kami dapat dari kisah ini. Dan meresapkan kembali semua pesan itu dalam hati. Tak menyangka kami bisa sejauh ini. Ternyata benar, dalam persalinan, bukan bayi yang lahir, melainkan ibu yang dilahirkan kembali. Dia yang melahirkan saya, dengan mengenalkan hypnobirthing, mbak Yesie, bu Lanny, hingga gentle birth.

Dipertemukan dengan mbak Yesie dan Bidan Kita adalah berkat bagi saya. Mendalami proses kehamilan dengan cara yang istimewa, merasakan proses persalinan dengan cara yang ‘berbeda’. Semua saya alami dengan bimbingan tangannya. Dialah perpanjangan tangan Tuhan untuk semua mukjizat ini.

Hampir dua tahun berlalu. Semua yang saya alami selama 38 minggu 4 hari kehamilan dan persalinan masih jelas terekam dalam otak dan hati. Senantiasa menjadi pengingat dalam mengasuh Dhira kini dan nanti. Kini, Dhira tumbuh menjadi anak yang ‘tenang’ dan sangat kooperatif. Semoga juga nanti. Semua hal yang dulu coba dia sampaikan selama berada dalam rahim, menjadi lebih nyata kini. Kami bisa saling mengerti, karena proses itu sudah kami mulai dari kehamilan yang kami jalani.






*tulisan ini dikutkan pada lomba kisah gentle birth dan pernah dimuat di www.bidankita.com

Kembali

Hiyaaaaa...Ibu kembaliiii....!!!

Karena desakan dari dua tante tengil di kantor,,akhirnya Ibu merasa tertantang untuk menuliskan kembali hal-hal gak penting yang menakjubkan dalam hidup.aka menulis apapun untuk memnuhi tantangan..hahay!

Smoga tetep semangat ikutan tantangan ini ya..biar rumah ini gak sepi lagiii..dan lebih berwarni. :D

Mohon dukungan dua tante tengil!

Namaste.