“Terimakasih telah
menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk sebuah mukjizat bernama Dhira...”
Ucapan tersebut
sepertinya ungkapan paling tepat yang bisa kami sampaikan untuk Bidan Kita,
Yesie Aprilia. J
Gertrude Dhira Abinaya
Hananta. Gadis kecil yang menghiasi hari-hari kami hampir 2 tahun terakhir ini
tumbuh sehat dan cerdas. Dia lahir dengan cara yang amat istimewa oleh bantuan
seorang yang istimewa di tempat yang istimewa. Yap, Dhira memang sangat istimewa,
terutama bagi kami. Orang tua yang awalnya sepakat untuk tidak
memprioritaskan kehadiran anak dalam kehidupan pernikahan kami.
Tidak seperti pasangan
muda lainnya yang antusias merencanakan kehamilan setelah acara pernikahan
selesai, kami memilih untuk menunda kehamilan. Ketakutan yang amat sangat
terhadap jarum suntik, darah, dan peralatan medis lainnya membuat saya berpikir
seribu kali untuk berani mengalami secara langsung proses persalinan. Banyaknya
cerita mengerikan tentang proses persalinan dari orang-orang di sekitar
sepertinya makin menguburkan niat saya untuk memiliki seorang anak. Berlebihan
memang, tapi begitu adanya keadaan saya saat itu. Ditambah lagi, tugas belajar
dari kantor menuntut saya memprioritaskan kuliah yang sedang saya jalani saat
itu. Alasan tepat untuk melindungi semua trauma saya. Makin membulatkan tekad
kami untuk menunda kehamilan.
Namun akhirnya,
datanglah masa dimana semua orang mulai menanyakan “jadi, udah hamil belum?”.
Sebuah pertanyaan sederhana namun ternyata cukup meluluhkan kekerasan hati
saya.
Tuhan bekerja. Dari
awalnya hanya menjawab dengan senyuman, sampai akhirnya berani bertanya
bagaimana rasanya hamil & melahirkan. Dan diantara banyak jawaban
mengerikan, muncul satu jawaban dari seorang teman tentang harapan melahirkan
tanpa rasa sakit. Hypnobirthing. Inilah perkenalan pertama saya dengan
makhluk bernama hypnobirthing. Dari sejak mendengar namanya disebut, hypnobirthing
telah menunjukkan gravitasi yang hebat bagi saya. Sembunyi-sembunyi, saya
mencari tahu apa itu hypnobirthing. Di antara tumpukan tugas kuliah,
seringkali saya malah asyik berselancar mengenal hypnobirthing. Jauh
hari sebelum saya berencana hamil, saya mulai memberdayakan diri. Tanpa saya
sadari.
Mengenal sekilas hypnobirthing
lewat dunia maya belum mampu meluruhkan seluruh ketakutan saya. Hingga akhirnya
saya menemukan sebuah buku hypnobirthing karya Evariny Adriana di
tumpukan buku diskon. Tanpa pikir panjang saya memutuskan untuk membelinya. Tak
ada yang kebetulan. Saya percaya semua sudah diatur Tuhan. Dengan buku ini,
saya jadi mengenal lebih dalam. Hingga akhirnya berani merencanakan kehamilan.
Genap 9 bulan setelah
menikah, akhirnya Tuhan berkenan menitipkan janin dalam rahim saya. Dan
petualangan sesungguhnya barulah dimulai. Tujuan pencarian saya akan gentle
birth semakin jelas sekarang. Buku Gentle Birth karya Yesie Aprilia,
Hypnobirthing karya Lanny Kuswandi, dan laman bidankita.com jadi pendamping
perjalanan saya selanjutnya.
Pelajaran yang telah
saya dalami dari sebelum hamil sangat memudahkan trimester pertama kehamilan.
Drama morning sickness tidak banyak saya rasakan. Hanya tiga kali muntah pernah
menyerang. Dari 38 minggu 4 hari kehamilan saya. Selebihnya, saya happy menjalani
hari-hari saya. Berat badan yang sangat kurang di awal kehamilan pun bisa saya
atasi dengan mudah.
Namun, tidak dengan
suami. Dia mengalami couvade syndrome.Trimester pertama, dia muntah
setiap sore menjelang pulang kerja. Dan saya percaya, itu semua karna cintanya
yang begitu besar pada saya.
Pemberdayaan diri terus
saya lakukan. Kali ini, saya tidak belajar sendiri. Selain suami, mama juga
ikut semangat belajar. Awalnya, mama tidak mengizinkan saat saya mengungkapkan
keinginan saya melahirkan dengan metode water birth. Namun akhirnya, dengan
banyaknya materi gentle birth yang mama pelajari dan melihat kegigihan saya
mengupayakan semuanya, mama tulus mengizinkan dan mendoakan. Yah, walaupun
setelahnya mama terus mengafirmasi diri untuk tidak mendampingi saya saat
persalinan tapi yang penting izin sudah dikeluarkan. :D
Trimester pertama dan
kedua berjalan tanpa cela. Selain dukungan dari orang-orang tercinta dan dokter
pilihan, relaksasi setiap malam juga punya andil besar. Kehamilan dan kuliah
berjalan beriringan. Keduanya bisa sempurna.
Trimester ketiga, Tuhan
punya rencana. Tuhan ingin saya lebih mendalami arti seorang ibu. Tuhan ingin
melihat bagaimana kegigihan saya memperjuangkan semuanya. Menjelang masuk
trimester ketiga, saya diserang batuk hebat. Agak sedikit menyiksa dengan
kondisi perut yang mulai membesar. Segala macam cara sudah saya lakukan, asupan
makanan tetap terus dijaga tapi batuk tak juga reda. Hingga akhirnya pada satu
sesi relaksasi malam, saya merenung lebih dalam. Mungkinkah ini pertanda bahwa
perhatian saya pada sang bayi mulai berkurang? Pikiran saya mulai dipenuhi
bayangan tugas akhir kuliah saya. Dan saya sadar, sepertinya memang ada yang
salah. Dari renungan malam itu, saya terpanggil untuk segera menemui penolong
saya, mbak Yesie.
Sebenarnya, memasuki
trimester kedua, saya dan suami telah berencana untuk pulang ke Klaten dan
menemui mbak Yesie untuk persiapan rencana persalinan di Bidan Kita. Namun
nyatanya, kemudahan yang saya dapat selama hamil telah melenakan saya.
Relaksasi dan yoga yang tetap rutin saya lakukan terasa kosong tak bermakna
karna fokus saya mulai berubah. Tugas akhir kuliah mulai menguasai hari-hari
saya dan mengganggu keseimbangan yang ada.
Tepat usia kehamilan 28
minggu, saya dan suami bertemu mbak Yesie untuk pertama kali. Kami mengikuti
kelas privat hypnobirthing di klinik dan sesi yoga di kebon kamboja (!). Tiga
hari di sana kami menemukan apa yang kami cari. Kami menemukan sosok
pembimbing. Lebih dari apa yang dituliskan di buku, lebih dari apa yang didengar
di cd relaksasi. Satu sesi yang paling mengena, saat saya mencurahkan semua
kegelisahan dan kekhawatiran tentang tugas akhir kuliah dan HPL yang sepertinya
akan sulit dilewati dengan sempurna. Mbak Yesie mengingatkan, tidak ada yang
perlu dikhawatirkan. “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena
hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk
sehari.” (Mat 6:34). Dan saya menangis. Saya lupa ada Tuhan Sang Maha. Saat
kita percaya dan berserah padaNYA, tidak ada yang tidak mungkin. Detik itu saya
diingatkan bahwa kehamilan adalah proses spiritual.
Pulang dari Klaten, kami
jadi manusia baru. Kami datang ke klinik dengan hasil tes tingkat stress tinggi
dan pulang dengan penuh kelegaan. Tapi, saya percaya, untuk naik kelas, setiap
pelajaran harus digenapkan dengan ujian. Usia 30 minggu, bayi saya masih nyaman
dalam posisi sungsangnya. Dokter menyarankan posisi knee chest dilakukan
setiap pagi dan malam. Tak hanya itu, berbekal panduan yang dishare
bidankita.com, saya melakukan banyak hal lainnya. Relaksasi dan berkomunikasi
dengan janin, memutar musik dengan meletakkan headphone di bagian bawah perut,
menyinari perut dengan senter, memijat ringan perut sesuai arahan, serta minum
jus jeruk. Saya santai menghadapinya, karna percaya semua usaha saya akan ada
hasilnya.
Namun, ketenangan saya
mulai goyah setelah 2 minggu usaha saya tidak membuahkan hasil. Usia 32 minggu
saya pulang ke Klaten. Acara mitoni sekaligus konsultasi dengan mbak Yesie.
Saya yakin mbak Yesie pasti bisa membantu menyempurnakan posisi bayi saya. Pagi
itu, saya datang dengan penuh semangat dan disambut senyuman manis sang bayi di
layar USG. Keyakinan makin kuat. Mbak Yesie memulai ‘ritual’-nya dengan
mengajak komunikasi sang bayi. Sementara mbak Yesie melakukan usaha mengajak
bayi memutar posisinya, mbak Anggun (salah satu bidan di BK) dan suami
melakukan accupressure dengan moxa. Menunggu beberapa lama, sang bayi tetap
pada posisinya, sungsang. Mbak Yesie memutuskan untuk berhenti.
Takut. Panik. Rasa yang
ada saat itu. Tak percaya, orang yang saya harapkan, menyerah. Siang itu, saya
menangis seharian di kereta menuju Jakarta. Bayangan SC mulai menghantui. Saya
pun nyaris menyerah. Namun, mbak Yesie memberi harapan baru. Dia meminta saya
menemui Suhu Haryanto. Seorang pranic
healer yang mengobati dengan metode NTS/Neuro Tendon Stimulation.
Mbak Yesie curiga ada yang salah dengan saya, otot-otot perut saya sangat kaku
waktu itu. Karena Suhu Har praktik di pro-V clinic, maka saya juga diminta
untuk sekalian menemui bu Lanny Kuswandi (!). Yap, bayi ini membawa saya
bertemu orang-orang hebat.
Mencocokkan jadwal 2
orang penting ini untuk bisa ditemui pada hari yang sama bukanlah hal yang
mudah. Tuhan memberi kemudahan. Usia 33 minggu saya sudah bisa bertemu suhu Har
dan bu Lanny. Hari itu, saya bertemu suhu Har terlebih dahulu, baru bu Lanny
setelahnya. Pengobatan dengan suhu Har diawali dengan deteksi sistem syaraf ala
master kungfu. Dan saya dibuat kaget dengan hasil deteksi tersebut. Menurut
suhu Har, cukup berat, ada 2 titik syaraf saya yang salah, 1 di bagian atas
yang menyebabkan batuk tak tertahan waktu itu dan 1 di bagian bawah yang
membuat otot bawah saya kaku sehingga menyulitkan bayi untuk berputar. Lebih
dari itu, ternyata dari syaraf yang salah itu, saya dinyatakan pernah terkena
serangan jantung yang tidak pernah saya sadari. Dan jika kesalahan ini tidak
segera dibenahi, akan berdampak buruk saat melahirkan nanti. Ngeri.
Dengan bu Lanny, saya
dijadwalkan dalam kelas privat hypnobirthing. Namun, karena materi
hypnobirthing sudah banyak saya dapatkan dari mbak Yesie, akhirnya kami
mengisinya dengan sesi curhat. Bu Lanny memberi motivasi dengan menceritakan
kisah salah satu pasiennya yang berhasil melahirkan sungsang, home birth. Bu
Lanny juga mengajarkan cara dan pentingnya berkomunikasi dengan sang bayi.
Tidak hanya mengajaknya bicara, tapi juga mendengar apa yang disampaikan sang
bayi. Bu Lanny yakin ada pesan yang ingin disampaikan sang bayi dengan posisi
sungsangnya saat ini. Dan tugas sayalah mencari tahu makna pesannya, bukan mbak
Yesie atau bu Lanny. Bu Lanny juga berpesan memperdalam afirmasi positif dengan
doa, dan kami memilih doa novena (kebetulan kami sama-sama beragama Katolik).
Sesi ‘curhat’ hari itu diakhiri dengan relaksasi. Menenangkan sekali.
Dua minggu menjalani
terapi NTS dan menjalankan pesan bu Lanny, saya merasakan perubahan nyata. Saya
merasa jauh lebih sehat, lebih tenang, lebih ikhlas. Saya juga mulai menangkap
pesan sang bayi. Ia ingin ibunya dalam keadaan sehat dan belajar ikhlas. Bayi
ini telah menyelamatkan jiwa dan raga saya (!).
Ikhlas. Satu kata yang
sebelumnya sedikit terlupa. Semua upaya pemberdayaan diri dan keinginan
melahirkan normal membuat saya lupa untuk ikhlas. Merasa telah melakukan semua
usaha dan dibimbing langsung oleh orang terbaik seakan sudah membutakan hati
saya. Tidak ada sectio caesarea dalam pilihan saya. Dan sekali lagi bayi ini
mengingatkan, keinginan bayi lah yang harus didengar. Pesan itu saya tangkap
saat saya dan suami ada dalam bioskop. Saya tersadar. Apa gunanya memaksa lahir
normal pada sang bayi? Jika sekarang saya sudah memaksakan kehendak pada anak
yang masih di perut untuk memutar posisi nyamannya, apa jadinya nanti kalau ia
sudah tumbuh? Kenapa saya tidak pernah terpikir kalau sebenarnya sungsang lah
posisi ternyaman yang dipilih bayi saya? Kenapa saya malah terus memaksanya?
Saya menangis. Bukan karna film yang kami tonton, tapi karena saya mendengar
pesan sang bayi. Pikiran itu terus mengusik saya selama hampir 2 jam di dalam.
Malam itu, saya meninggalkan ruang theater dengan mengucap, “Nak, ibu sudah
ikhlas, ibu percaya kamu lebih tahu apa yang terbaik untukmu.” :’)
Hari-hari setelahnya
terasa lebih mudah. Saya dan suami melakukan semua upaya dengan lebih ikhlas.
Tanpa beban. Tidak lagi dua orang yang bekerja dalam karya ini sekarang, ada
sang bayi yang turut serta. Bertiga kami akan melewati semuanya, dengan
kehendak sang bayi yang paling utama.
Hingga keajaiban itu
tiba-tiba ada. Dua hari setelah saya mengikhlaskan semuanya. Minggu pagi saat
kami mengikuti misa di gereja. Tuhan menunjukkan kuasaNYA. Saat mendoakan Bapa
Kami, saya mengajak serta sang bayi dalam doa dengan membelai perut. Dan saya
merasakan gerakannya. Ajaib. Perlahan tapi pasti, kepala sang bayi bergeser ke
bawah. Klek. Doa selesai dan kepalanya tepat berhenti di tempat seharusnya.
Benar, saya sungguh benar-benar merasakannya. Mukjizat itu nyata. Saat saya
sudah ikhlas, tanpa perlu memaksa, dia tahu yang seharusnya. Usianya 34 minggu
saat itu. Dengan ukurannya yang besar di tubuh ibunya yang mungil, dia
menunjukkan bahwa segala sesuatu bisa terjadi jika memang itu kehendaknya dan
Sang Kuasa.
Masih merasa tak
percaya, saya dan suami menemui dokter untuk memastikan posisinya. Dan benar,
sang bayi sudah berada di posisi sempurna sekarang. Penuh haru, kami
meninggalkan ruang dokter dengan air mata. Bahagia. Terimakasih, Nak (!). :’)
Tidak seperti ibu
bekerja lainnya yang bisa mulai cuti di usia 36 minggu, saya masih harus
berjuang untuk ujian akhir kuliah saya di usia 37-38 minggu. Puji Tuhan, bayi
ini sangat bisa diajak bekerjasama meskipun tiap hari harus naik motor ke
kampus dan naik turun tangga menuju ruang ujian. Kami sudah sepakat, saya harus
menyelesaikan ujian ini sebelum akhirnya bertemu. Usia 38 minggu saya berhasil menyelesaikan ujian.
Malamnya, kami menuju Klaten untuk mempersiapkan semuanya. Saya sudah mulai
tidak nyaman duduk berjam-jam di kereta malam itu. Tapi, bayangan bertemu mbak
Yesie untuk sekedar tertawa bersama sang bayi mampu mengalahkan semuanya.
Kamis pagi, kami tiba di
Klaten. Dan setelah beristirahat sejenak, kami menuju klinik Bidan Kita.
Bertemu mbak Yesie untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Belum ada
tanda-tanda, saya hanya diminta mengurangi karbohidrat dan menggantinya dengan
buah. Yap, bayi saya besar untuk ukuran tubuh ibu semungil saya. Mbak Yesie
juga menyarankan minum jus nanas dan mulai melakukan induksi alami hingga sang
bayi memberi tanda.
Malamnya, rasa tak
nyaman kembali menyerang. Saya belum tahu pasti bagaimana rasanya kontraksi
(sebenernya sampai sekarang pun saya juga masih belum tahu pasti). Tapi saya
menduga mungkin rasa tak nyaman itulah yang disebut kontraksi. Tidak merasa
terganggu, saya tetap asyik temu kangen dengan keluarga. Bercanda sambil menonton
tv. Paginya, rasa itu sudah lenyap entah kemana. Hari Jumat terlewat dengan
bahagia. Sabtu malam, saya dan suami menghadiri acara midodareni salah satu
sahabat saya di satu sudut pelosok Klaten. Acara pernikahan ini merupakan satu
momen yang saya tunggu-tunggu. Saya dan sahabat-sahabat merencanakan pertemuan
‘besar’ di acara ini. Saya punya keinginan kuat bisa berfoto bersama
sahabat-sahabat dengan perut besar ini. Karna itu, track berat yang harus kami
lalui untuk menuju ke sana bukanlah suatu halangan. Keinginan itu ternyata
benar-benar didukung bayi hebat saya. Kami pulang jam 10 malam itu. Sesampainya
di rumah, saya menemukan goresan coklat di celana dalam saya. Apakah ini tanda?
Semoga.
Saya tidur pulas malam
itu dalam pelukan suami. Tenang. Bahagia karena hari ini sahabat saya menikah.
Kami harus bersiap pagi-pagi. Begitu bahagianya hingga tak ada sedikit pun rasa
khawatir saat saya menemukan lebih banyak bercak coklat di celana. Hari ini
saya harus ada di pernikahan sahabat saya. Selesai mandi, kami menuju salon
yang sudah saya pesan untuk make up berkebaya. Untuk menghadiri pesta sahabat saya
tentunya, bukan melahirkan. J
Kebetulan, salon yang
saya pesan ada di seberang klinik Bidan Kita. Mobil kami parkir di dekat
klinik. Mbak Yesie sedang menyiapkan bunga-bunga untuk kliniknya. Kami sempat
saling melambaikan tangan. Dan saya tidak pernah menduga hari itu saya akan
kembali bertemu dengannya untuk melahirkan.
Selama make up, saya sempat merasakan dua kali
getaran tiap setengah jam (saya tidak tahu harus menyebutnya apa, karna sampai
sekarang saya pun tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya). Mungkin kontraksi.
Tapi saya tetap yakin dan percaya semua akan baik-baik saja. Sampai di gereja, saat
pemberkatan pernikahan, getaran makin terasa. Tiap 15 menit pertama. Tiap 5
menit kemudian. Saya masih biasa. Bercanda dengan sahabat-sahabat tercinta.
Penuh tawa. Bahagia.
Acara berpindah ke salah
satu garden resto di Kalasan. Getaran itu makin hebat kurasakan. Saat itu saya
harus mencari tempat duduk jika getaran datang. Tidak bisa lagi menikmatinya
sambil berdiri. Selebihnya, semua tetap berjalan biasa. Tetap penuh tawa dan
canda. Hingga akhirnya saya hanya bisa duduk terdiam menikmati getaran hebat. Sahabat-sahabat
menyarankan pulang untuk istirahat. Mungkin saya kelelahan, pikirnya. Kami
semua tidak pernah tahu jika saat itu adalah detik-detik terakhir saya berperut
besar. J
Sepulang dari acara,
tiba-tiba saya terpikir untuk langsung ke klinik Bidan Kita dan bertemu mbak
Yesie. Saya hanya ingin memastikan semua baik-baik saja. Di jalan, saya sudah
sempat sms mbak Yesie menanyakan kondisi saya dan memberi kabar saya akan
datang. Dengan kebaya, sanggul, heels,
clutch, dan bulu mata saya datang ke klinik Bidan Kita. Dari awal, saya
memang tidak pernah membayangkan datang ke klinik bersalin dengan
tergopoh-gopoh membawa setas penuh perlengkapan ibu bersalin. Tidak pernah. Dan
ternyata itu menjadi nyata, bagaimana hebatnya pikiran alam bawah sadar
mengendalikan semua. Kedatangan saya yang ‘cantik’ sempat membuat kaget
bidan-bidan di klinik. Belum pernah ada ibu hamil datang untuk bersalin dengan
dandanan seheboh itu. J
Sampai di sana, saya
berganti pakaian (milik mbak Yesie). Mbak Yesie mulai melakukan pemeriksaan
dalam. VT pertama dalam hidup saya. “Sudah buka 4 longgar”, katanya. Saya dan
suami sontak kaget dibuatnya. Hebohnya rasa kontraksi saja kami belum
benar-benar tahu. Tanpa persiapan fisik apapun, kami menunggu kelahiran sang
bayi di klinik dengan hati yang mantap.
Ketenangan dan kenyamanan yang saya temukan di sana mempermudah segalanya.
Bayangan persalinan mengerikan yang dulu membuat saya berpikir untuk tidak
memiliki anak tidak pernah ada ternyata. Saya memilih tempat yang tepat. Bukan
saya, bayi saya tepatnya. Dia yang membimbing saya hingga bisa ada di tempat
ini. Proses persalinan yang begitu hebat saya rasakan di sini. Proses
pemberdayaan diri yang sudah saya upayakan hingga sejauh ini makin sempurna
dengan bantuan tangan yang penuh kasih.
11 November 2012 pukul
19.20. Bayi cantik berhasil lahir dengan perjuangannya yang hebat. Dia sempat
mengalami lilitan kuat, distosia bahu dan sempat tidak bernafas. Perjuangan
kesekian kali yang harus dilaluinya untuk bisa bertemu ibu. Terimakasih Nak,
sudah mau berjuang begitu besar hanya untuk ibu. Terimakasih telah memilih kami
sebagai orang tuamu. :’)
Persalinan ini begitu
berkesan bagi kami. Kesan yang dalam terutama setelah membaca kisah yang
dituliskan mbak Yesie :
Malam hari setelah
kelahirannya, saya dan suami tidak sekalipun memejamkan mata. Memandangi sang
bayi penuh haru. Mengenang kembali perjalanan hebat yang telah kami bertiga
lalui. Mengingat kembali semua pelajaran yang kami dapat dari kisah ini. Dan
meresapkan kembali semua pesan itu dalam hati. Tak menyangka kami bisa sejauh
ini. Ternyata benar, dalam persalinan, bukan bayi yang lahir, melainkan ibu
yang dilahirkan kembali. Dia yang melahirkan saya, dengan mengenalkan
hypnobirthing, mbak Yesie, bu Lanny, hingga gentle birth.
Dipertemukan dengan mbak
Yesie dan Bidan Kita adalah berkat bagi saya. Mendalami proses kehamilan dengan
cara yang istimewa, merasakan proses persalinan dengan cara yang ‘berbeda’.
Semua saya alami dengan bimbingan tangannya. Dialah perpanjangan tangan Tuhan
untuk semua mukjizat ini.
Hampir dua tahun
berlalu. Semua yang saya alami selama 38 minggu 4 hari kehamilan dan persalinan
masih jelas terekam dalam otak dan hati. Senantiasa menjadi pengingat dalam
mengasuh Dhira kini dan nanti. Kini, Dhira tumbuh menjadi anak yang ‘tenang’
dan sangat kooperatif. Semoga juga nanti. Semua hal yang dulu coba dia sampaikan
selama berada dalam rahim, menjadi lebih nyata kini. Kami bisa saling mengerti,
karena proses itu sudah kami mulai dari kehamilan yang kami jalani.
*tulisan ini dikutkan pada lomba kisah gentle birth dan pernah dimuat di www.bidankita.com
Horeee.. ada yang mau ngeblog lagi, horeeeeeeeeeee..!
BalasHapus